[Review Buku] Filosofi Teras
[ REVIEW BUKU ] FILOSOFI TERAS
Penulis :
Henry Manampiring
Editor :
Patricia Wulandari
Desainer Sampul : Levina Lesmana
Penerbit :
Kompas
Jumlah halaman : xxiv-320 hlm
Filosofi
teras salah satu buku yang sedikit banyaknya mengubah cara berpikir gue
pribadi. Buku ini hadir ketika gue sedang galaunya
tugas akhir!. Sejujurnya gue tipe orang yang gampang panik jika dihadapkan
dengan suatu masalah, gampang marah, ribet, atau kadang suka menyalahkan diri
gue ketika tidak bisa melakukan yang orang lain bisa! Serius ini buat
frustasi!. Akhirnya bertemu dengan buku ini, setelah sekian banyak video yang
gue tonton tentang mental health.
Filosofi
teras yang ditulis oleh Henry Manampiring ini mengulas tentang ajaran filsafat
yang sudah lebih dari 2000 tahun. Di dalam filsafat ada ajaran yang baik untuk
kesehatan mental, namanya “Stoisisme” dan
para pengikutnya disebut “stoa” yang dalam Bahasa yunani berarti “Teras”.
Disebut stoa atau berarti teras, karena saat itu filsuf-filsuf yunani kuno
sering mangajar di teras-teras berpilar, sesederhana itu.
Dalam buku
ini terdapat 12 bab dengan 312 halaman, wow sudah buat pusing duluan. Jangan
khawatir buku ini worth it banget
untuk mengisi waktu kalian. Salah satu babnya yaitu tentang “Hidup Selaras
dengan Alam” (in accordance with nature).
Maksudnya adalah dalam konteks nature
ini, stoisisme menekankan satu-satunya hal yang dimiliki “manusia” yang
membedakan dengan “binatang” yaitu nalar, akal sehat, rasio dan kemampuannya
menggunakan hal tersebut dalam hidup.
Dikotomi
kendali bab yang mengubah pemikiran gue. Dalam bab ini mengajarkan bagaimana cara kita bersikap dengan cara hanya memperhatikan apa yang ada dalam kendali
kita tanpa perlu memikirkan yang diluar kendali kita.
“some things are up to us, some things are not up to us.”- Epictetus hlm 42.
Stoisisme mengajarkan
bahwa kebahagian sejati hanya bisa datang dari “things we can control” hal-hal yang berada dibawah kendali kita. Sedangkan
kita tidak bisa menggantungkan kebahagian kita dengan hal-hal yang diluar
kendali kita seperti perlakuan orang lain, opini orang lain, status dan
popularitas.
Salah satu
contoh yang realistis dan pas banget gue temuin adalah saat gue mengahadapi sidang
skripsi. Hal yang dalam kendali gue adalah menyiapkan bahan presentasi sebaik
mungkin, memahami materi dan belajar cara presentasi yang baik. Hal yang di luar
kendali kita adalah jalanan macet saat datang ke kampus, alat peresentasi
seperti proyektor yang tidak bisa hidup ketika kita akan tampil, pendapat
penguji dan nilai yang akan dikasih oleh penguji. Semua itu gue terapkan ketika
sidang, dan hasilnya apa? Melegakan… ya gue jauh lebih tenang dari sebelumnya,
dulu gue adalah orang yang sangat terobsesi dengan sesuatu hal yang diinginkan
seperti contohnya nilai dan ketika gue tidak mendapatkan sesuai ekspetasi, gue
akan mengutuk diri sendiri dengan seberapa bodohnya gue. Sadis…
Lalu
dengan dikotomi kendali apakah stoisisme mengajarkan kita untuk Pasrah pada
keadaan? Tentu tidak, disemua situasi bahkan saat kita merasa tidak ada kendali
sekalipun, selalu ada bagian di dalam diri kita yang tetap merdeka, yaitu
pikiran dan persepsi. Dalam bukunya ada beberapa contoh seperti Viktor Frankl,
seorang psikiater yang hidup di Austria saat perang Dunia II. Frankl dan
keluarganya ditangkap dan dikirim ke ghetto Yahudi, lalu dipindahkan ke kamp
konsentrasi. Keluarganya meninggal dan selama di kamp konsentrasi tersebut
Frankl tetap aktif bekerja menyediakan kelas pengajaran dan juga layanan
kesehatan bagi sesama tahanan, sampai akhirnya dia dibebaskan. Frankl kembali
ke Vienna dan menulis sebuah buku tentang pengalamannya selama di kamp
konsentrasi. Bukunya berjudul Men’s Search For Meaning.
Dari pengalaman
tersebut, Frankl menyimpulkan bahwa di dalam situasi yang paling menyakitkan
dan tidak manusiawipun, hidup masih memiliki makna dan karenanya penderitaanpun
masih bermakna. Kita tidak bisa memilih situasi kita, tapi kita bisa menentukan
sikap kita atas situasi yang kita alami.
“tidak ada kemerdekaan yang benar-benar hilang bahkan di situasi di mana seolah kebebasan kita sudah direnggut sama sekali atau situasi yang tampak sangat gelap sekalipun...”-hlm 53.
Mungkin contoh
di atas terlalu extreme, mana bisa
ada orang yang bisa tenang di situasi yang membatasi diri seperti itu? Nyatanya
memang ada dan kita bisa menerapkan perlahan dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh saat terjebak macet dan kendaraan yang kita tumpangi tidak bisa jalan
sama sekali. Kita bisa memilih bersikap marah-marah dan menyalahkan keadaan
atau memilih menganggap itu diluar kendali kita lalu manfaatkan waktu dengan
membaca buku, artikel atau mendengarkan musik favorit?.
Contoh yang
saat ini sedang happening dengan
virus corona yang mengharuskan kita tetap di rumah dan meninggalkan aktifitas
sehari-hari (situasi yang di luar kendali), kita bisa memanfaatkan waktu dengan
mengasah keterampilan atau hobi? Atau bahkan ini bisa kita anggap sebagai waktu
untuk mengenal dan mengintropeksi diri, menghabiskan waktu untuk keluarga? Rasanya
ini juga cukup berarti.
Yaa dari
apa yang gue baca dan sedikit menerapkan pada situasi saat ini yang bahkan kita
tidak bisa kemana-mana, gue memilih untuk mencoba hal baru seperti mencoba resep
makanan yang belum lama ini di posting disosial media pai susu! Yang kenyataannya
berbanding terbalik karena gue harus 2 kali membuat pai itu hangus! Hahaha:D
yang lebih menariknya tetap habis dimakan.
Okay, gue
rasa review buku ini sudah menggambarkan segitu sukanya gue sama buku ini, buku ini
bagus banget untuk kita yang umur 20an dan diatasnya untuk bersikap lebih
bijaksana dalam menanggapi situasi yang ada. Semoga bermanfaat, stay safe everyone! enjoy your life!
#dirumahaja
Komentar
Posting Komentar